Langsung ke konten utama

Pencitraan

Bismillaah


Jadi ceritanya.. Aku dan temanku tahu tentang seseorang yang sedang memiliki masalah. Tahu juga bahwa orang A, B, Dan C tidak bersikap baik terhadapnya. Kita tahu juga bahwa dia jelas berkata yang kurang lebih, "Tidak mengapa masa depanku tidak bahagia asalkan keluargaku bahagia."

Aku dan temanku terus menggelengkan kepala tanda sangat tak setuju dan heran dengan ucapannya. Mengapa dia begitu rela tersiksa dengan mengorbankan masa depannya yang sungguh sangat mungkin diubah jika dia mau. Karena saat ini nasi belum menjadi bubur. Kayu belum menjadi abu.

Aku dan temanku sudah lelah menasihati, ternyata konsep yang seperti itu telah tertancap kuat dalam dirinya. Filosofi lilin yang menyala. Terbakar dan habis untuk menerangi orang lain. Meskipun begitu romantis dan dramatis, perjuangan seperti itu menurutku bukan hal logis.

Aku dan temanku sungguh tidak paham dengan sikapnya. Karena kami berprinsip, "Tak peduli orang mau bilang apa, yang menjalani hidup adalah kita. Orang hanya berkomentar." Namun dirinya, begitu peduli atas lisan dan pandangan orang lain. Malu. Katanya malu jika tidak melanjutkan, malu jika gagal. Hingga terlintas di benaknya ingin mati karena malu.

Aku dan temanku, menghirup napas yang sangat panjang dan dalam. Sebagai teman dekat yang sudah saling menganggap saudara kita begitu khawatir akan masa depannya, tak ingin dia terlampau jauh tersakiti, tak mau ia terlampau dalam terlukai. Namun apa mau dikata? Dirinya sudah siap menanggung ketidakbahagiaan masa depan, katanya.

Tidak lama berselang kisah dukanya sampai di telinga kita. Dia memposting sebuah dokumentasi perayaan. Yang sungguh sangat bertolak belakang dengan apa yang diceritakan. Aku dan temanku kemudian saling menatap layar dan bertanya. Apakah dirinya sesungguhnga baik saja? Apakah ceritanya kemarin hanya sebuah kebohongan?

Aku kemudian mencari penjelasan. Padahal aku sudah yakin bahwa itu hanyalah pencitraan. Dan benar seperti itulah adanya. Dia pernah berkata, bahwa manusia tidak perlu tahu apapun yang tak menyenangkan dalam hidupnya, mereka hanya perlu tahu bahagianya. Tapi apakah harus dengan fake smile and fake happiness? Mungkin baginya itulah yang terbaik.

Aku dan temanku kembali menggelengkan kepala. Tanda tak paham, tanda tak sepemikiran. Akhirnya kita hanya bisa berpasrah mendoakan. Mengharap sebaik-baik penjagaan. Mendoa sebaik-baik perubahan.

Komentar