Langsung ke konten utama

Desember

Bismillaah

Ini hari Ahad, tertanggal 1 Desember tahun 2019. Aku terbangun sejak pukul 01.00 WIB. Alarm di gawai yang terletak tepat di pinggir bantal terdengar begitu mengganggu dan menyelamatkanku dari mimpi yang terasa panjang dan alot. Dengan kelopak mata yang begitu erat ikatannya aku memaksakan diri untuk mencari 'sang pengganggu', mematikan alarmnya, dan merasa-rasakan dengan terpejam. "Apakah aku harus bangun atau kembali melanjutkan tidur?"

Mungkin aneh, mengapa aku memasang alarm dini hari, dari pukul 00.00 WIB, selang waktu 30 menit ke alarm berikutnya 00.30 WIB, lalu 01.00 WIB, 01.30 WIB, 02.00 WIB, 02.30 WIB, 03.00 WIB, 03.30 WIB, 04.00 WIB, dan berakhir pada pukul 04.30 WIB. Seluruhnya adalah usahaku untuk bangun lebih pagi dan mencari keberkahan lebih pagi.

Kemarin, 30 November 2019 sekitar pukul 20 WIB sebelum tidur aku meniatkan diri mendengar murottal Quran sambil menghafal. Handsfree sudah terpasang, lalu aku membuka gawaiku. Tapi layar homescreen itu membuat aku risih, lalu aku menggantinya. Kemudian aku teringat sesuatu, lalu membacanya, membacanya, tenggelam. Dan aku tertidur dengan telinga terpasang alat dengar yang tak bersuarakan apapun.

Pagi ini aku kembali menghitung berapa waktu yang aku sudah habiskan sejak menjadi tuna karya. Tuna di sini adalah kata sifat yang berarti rusak atau cacat, sedangkan karya adalah kata benda yang memiliki arti pekerjaan, hasil perbuatan, buatan, atau ciptaan (KBBI V 0.2.1 Beta (21)). Hmmm, sadis juga ya artinya. seseorang yang rusak atau cacat dalam pekerjaan dan sejenisnya. Deuh.

Baiklah tinggalkan itu sebelum benar-benar berdarah. Tapi tadi aku sedang menghitung, jadi awal bulan ini sudah genap 4 bulan aku menjadi pengangguran. Hahaha. Ini tawa sedih ya, untuk sekedar menyelamatkan diri supaya tidak suram-suram amat. Ehhh, dijelasin makin sedih kerasanya. T.T

Aku memuhasabahi diri, jika 4 bulan sebelumnya aku bisa menghasilkan uang ± Rp. 16.800.000 dalam kurun waktu yang sama, 4 bulan terakhir ini aku hanya bisa mendapat hibah Rp. 500.000. MasyaAllah. Bener ternyata itu istilah tuna karya. T.T

Aku kembali memuhasabahi diri, jika 4 bulan lalu dengan uang tersebut aku bisa membantu banyak orang, 4 bulan ini aku hanya merepotkan kedua ibu-bapakku. T.T

Uang memang bukan segalanya, sejak lebih banyak di rumah pun bukan berarti aku benar-benar diam tanpa melakukan pekerjaan apapun - dan aku tak perlu menjelaskannya. Tapi sungguh, rasanya lebih dari tuna asmara. Aku seperti kehilangan sebagian diri. Okay, breath in, breath out.

Tapi semua belum terlambat, semua belum berakhir kalau aku tidak menyerah. Dan dua atau tiga hari yang lalu aku seperti diberi sinyal yang sangat kuat, aku merenung dalam, lalu aku beranikan diri mencari serpihan-serpihan itu. Seorang sahabat memberikanku kiriman gambar yang tidak biasa, gambar tersebut tidak berisi informasi lowongan pekerjaan melainkan beasiswa menghafal Quran selama 1 tahun di Ma'had yang cukup dekat dengan lokasi rumahku saat ini. Sesaat setalah membaca gambar tersebut, aku diam, mengapa dia mengirimkan info tersebut kepadaku. Untuk adikku? Rasanya bukan karena salah satu syarat untuk mendaftar beasiswa tersebut adalah memiliki hafalan minimal 3 juz. Aku membalas dengan berat, "Hatur nuhun Ay, sedih syaratnya belum memenuhi." dan pesan itu segera terkirim, kemudian centang biru, ia dibaca tanpa balasan.

Aku sekali lagi kembali memuhasabahi diri, betapa selama 4 bulan ini pun aku kehilangan sesuatu yang sangat berharga padahal begitu ingin aku jaga. Imanku. Imanku rombeng dan compang-camping (meminjam kata Ust. Salim). Bodoh bukan? Seharusnya selama 4 bulan ini aku perbanyak interaksiku dengan Quran, bukan sibuk mencari kursus-kursus yang mungkin tak berbekas banyak pada akhiratku. Bodoh sekali bukan, seharusnya jika dalam satu hari aku bisa menghafal lebih banyak, lebih dari setengah halaman atau satu halaman. Aku sudah bisa berinvestasi bagi akhiratku, dan itu lebih baik dari seluruh ilmu yang aku hafal atau aku baca. Ahh.. Sudah tuna karya aku malah menambahnya dengan tuna iman. T.T

Tapi sekali lagi semua belum terlambat, aku akan memulainya kembali saat ini. Cita-cita seumur hidup, menjadi seorang penjaga Quran. Di akhirat kelak ia merupakan investasi yang tiada pernah ada kerugian di dalamnya. Jika sekarang aku sangat menyesal karena aku belum mampu membahagiakan orangtuaku di dunia, aku tak mau kelak menyesal lagi karena tak mampu membahagiakan keduanya di akhirat. Sungguh tidak ada balasan setara bagi pengorbanan keduanya selain Surga dan Mahkota yang cahayanya lebih terang dari sinar mentari dunia.

Maka saat ini aku akan kembali menguatkan hati,
"Aku kembali pada-Mu Ya Rabb, bersama ayat-ayat yang menyelamatkanku."