Langsung ke konten utama

Tukang Mikir

Bismillaah

Berkali aku membaca kisah, dan yang selalu merebut hatiku bukan cerita dengan akhir happy ending melainkan kisah menyedihkan. Seperti kisah cinta tak sampai yang dipisah karena kematian, atau dipisah karena berbeda perasaan, atau yang ditentang oleh takdir. Genre lain yang aku gandrungi yaitu kisah orang yang berjuang sampai titik nadir namun tidak berhasil mencapai inginnya. Benar! Yang seru itu perjuangan. Bukan hasil akhir.

Sulit memahami mengapa aku begitu menyukai kisah semacam itu. Kisah-kisah tragis. Apa mungkin aku sejenis manusia makosis? Yang mendapat kepuasan saat menyakiti diri sendiri? Hahahaha
Mungkin. Bisa jadi.

Kegagalan, ketidakberhasilan, ketidakpuasan, kebangkrutan, ketidakberdayaan, yang melahirkan berbagai macam kesedihan dan kesengsaraan kerapkali menjadi titik awal kebangkitan yang meledak. Hal semacam itulah yang aku sukai.

Namun.. mengapa manusia selalu mengharapkan kebahagiaan? Menghindari berbagai kesukaran? Di akhirat kelak pun manusia mengharapkan masuk surga yang penuh kenikmatan bukan masuk neraka yang penuh penderitaan. Takdir. Katanya. Memang manusia ditakdirkan begitu.

Katanya juga, kita harus merasakan ketidakenakan dulu untuk bisa merasakan kenyamanan. Harus lapar dulu sebelum kenyang, harus menangis dulu sebelum tertawa, harus merasa panas dulu sebelum merasakan sejuknya dingin. Begitu sebaliknya, begitu seterusnya, silih berganti. Hingga mati.

Tapi eh tapi kalau di akhirat nanti. Yang ada hanya satu jenis rasa : nikmat atau siksa. Tidak lagi silih berganti, tidak lagi bersiklus. Jika ia diberi nikmat maka akan abadi. Begitu pula jika ia diberi siksa maka siksanya pun abadi. Nah berlakulah konsep yang senang makin berbunga yang menderita makin sengsara.

Jika ditarik ke sini.. sebab lain aku mencintai jenis kisah seperti itu adalah karena begitu fananya dunia. Maka ukuran kebahagiaan akan sangat pendek jika diukur hanya dari kacamata dunia.
Saat bahagia hanya diukur cinta, bagaimana dengan mereka yang tuna kasih?
Jika bahagia ditimbang harta, di mana hak para fakir dhuafa?
Ketika bahagia ditopang raga, siapa di antara cacat nan buruk rupa kan tertawa?
Apalagi hanya karena tak bertahta, apakah mereka yang papa tak boleh bersua sang suka?

Komentar