Langsung ke konten utama

Kabar Fajar

Bismillaahirrahmaanirrahiim..

Tangisnya pecah ketika dingin raga sang ibu meresap menusuk daging-daging kalbu. "Ibu tiada?" lirihnya bergetar seraya melemah kaki menopang badan. Ambruk. Ternyata dewasa saja tak cukup untuk menanggung pedih kehilangan. Mereka yang mendengar jerit tangisnya menghambur saling menatap, saling bertanya, saling berpanik, lalu saling merangkul dan menyiramkan air mata. Pemilik rahim telah tiada. Ya, pemisahnya bukan lagi tentang ruang dan waktu. Namun kehidupan. Yang takkan bisa lagi melarung rindu lewat perahu, yang takkan bisa lagi meniup kangen lewat pesawat.

Dalam rundung kesedihan, mereka lupa bahwa bapak mereka yang sebelum fajar telah mengabdi di rumah Tuhan tidak tahu bahwa sang istri akan segera dipusarakan. Hening akhir malam digaduhkan suara nyaring tangis berlarian, meraung memanggil sang bapak dari kejauhan. "Pak..! Pak..! Ibu, Pak.. Ibu..", terengah nafas beradu tangis. Bapaknya yang tengah hikmad bermunajat menunggu singsingan fajar, terperanjat menoleh dan berlari menghampiri sang anak. Tanpa kata. Tanpa suara. Setelah tergesa mengenakan kembali alas kakinya, anak dan bapak tersebut bergegas menuju rumah tercinta, yang kini sedang bertuliskan "Rumah Duka".

---------------------------------------------------------

Hanya terpisah tembok dari tempat berita kematian itu disampaikan pada sang bapak. Ada seorang wanita muda yang tengah berjaga sejak 120 menit sebelumnya. Hentak kaki kesedihan sang pembawa berita berdentum-dentum dalam ruang kalbunya. Nafasnya tetiba tercekal sejenak menelan sadar, "Aah... iya.. aku belum cukup bekal.. padahal nama-nama kan selalu dipanggil bergantian." Langit-langit kamar tak usai sebentar ditatapnya kala itu. Jantungnya masih terus berpacu hingga mentari menjelang. Ia ingat, sudah bukan usianya lagi ia menyiakan kehidupan, karena kematian bukan sebuah kebohongan yang patut diabaikan.

- Dalam pembaringan, 6 Sya'ban 1439 Hijriyah

Komentar