Langsung ke konten utama

Menjadi Pria, Menjadi Wanita

Bismillaah..

Hanya mengungkap sedikit cerita nyata dari sebagian keluarga yang telah diwawancara beberapa bulan ini.
Sebetulnya penelitian yang tengah aku jalani bukan murni dalam bidang sosial-ekonomi tapi lebih kepada pencegahan penyakit. Tapi dalam perjalannnya aku menemukan satu hipotesis mendasar :
"Pria yang bertanggungjawab akan membawa kesejahteraan bagi keluarganya."
"Wanita yang kuat dan cerdas akan membawa keutuhan rumah tangga."

Lebih dari 50 wanita, baik ibu rumah tangga atau ibu pekerja telah aku ajak berbincang. Banyak kisah dan hikmah yang begitu berharga dari perjuangan mereka sebagai seorang wanita, anak, istri, dan tentu ibu bagi anak mereka. Pun berbeda rentang usia, yang belia, dewasa, hingga menua. Dan yang membuat mereka bertahan dalam bermacam tekanan adalah anak yang ada dalam pangkuannya.

Benar! Sungguh benar! Wonder woman harusnya bukan disematkan pada tokoh superhero yang tidak riil. Ibu adalah wonder woman sesungguhnya! Ia sudah melibas habis dirinya sendiri. Keinginannya, haknya, waktunya, hartanya,  bahkan kebahagiaannya telah habis ia bagikan. Cukup gelak tawa anak suami menjadikan lelahnya tersenyum.

Ibu Y pernah bercerita, katanya biarlah ia tak makan. Asal anaknya bisa mendapat suapan kenyang. Wajahnya lelah, namun tegar. Dalam nanar ia terus panjatkan agar anaknya yang terbaring sadar tak sadar, kembali menyemangati kehidupannya yang ala kadar. Allah sangat sayang.. Ibu Y harus rela bertemu si kecil agak lama, hingga kelak di surga anak-anaknya yang mendahului beliau menuntunnya menempati kenikmatan abadi. Semoga Allah senantiasa memberkahi keluarga ibu..

Ibu M beberapa hari lalu menangis setelah beberapa kalimat pembuka kuucap. Katanya ia sedih. Sangat sedih. Tak ada keluarga yang datang menjenguk. Bahkan bapak dari si anak, enggan. Ia bercucuran air mata. Belum lagi anak lainnya yang ia tinggal. Sepatu sekolahnya telah sobek, air merembes saat hujan, katanya lewat telepon. Kebutuhan ia tanggung dari pinjaman keluarga. Sang bapak hanya kerja serabutan. Ah.. dia ingin segera pulang. Kembali liar cari uang.

Ibu A yang seorang kader beda lagi ceritanya. Setelah bercerai dari suami dari anak pertama dan kedua, ia dinikahi seorang yang telah beristri. Nasib jadi istri kedua, ia tak banyak minta. Semangat untuk cari uang sendiri. Anaknya yang sudah lulus SMK menjadi harapan, agar ia tak bernasih sama dengan ibunya. Menjadi seorang ibu harus punya banyak keahlian, berjualan kue dan bolu buatan sendiri, berkeliling menawarkan jasa pembayaran jaminan kesehatan dan segala pretelannya.

Ibu F kini berjuang setelah sang suami terserang stroke dan tak bisa bekerja. Penghasilan yang tak seberapa dari hasil mengajar di taman kanak-kanak membuatnya bertahan dengan sebagian meminjam. Sang suami saat ini hanya serabutan. Tak menentu penghasilan.

Bukan hanya mereka saja. Banyak ibu lainnya yang bercerita serupa. Penghasilan yang tak menentu, seringnya menganggur. Akan terlihat dari rona wajahnya saat ia bicara, apakah sang suami berjuang atau hanya leha-leha menikmati nasib. Mereka ada yang hanya diam menerima, ada yang melangkah berusaha.

Tidak! Wanita bukan butuh pria yang berpenghasilan tetap. Namun wanita perlu pria yang bertanggungjawab dengan tetap berpenghasilan, berapapun!
Karena.. itulah kewajibannya. Itulah yang diikrarkan dalam akadnya. Memang materi bukan segalanya. Namun untuk hidup di dunia, kita butuh materi untuk bertahan sebagai manusia.

Rumah tangga itu, bukan sekedar cinta-cintaan, bukan hanya tentang suami dan istri. Namun tentang juga tentang tanggung jawab, pengorbanan, perjuangan, untuk bisa mempertahankan kehidupan manusia yang sehat, berakal, dan beradab. Untuk menghentikan siklus kebodohan yang diwariskan.

Banyak yang berumah tangga, namun ternyata tak tahu cara menjalaninya. Suami tak tahu kewajiban, istri yang tak faham haknya. Hingga yang lahir adalah anak yang tak dididik, anak yang kurang gizi, anak yang tak tahu adab. Yang kedepan akan melahirkan anak yang serupa dengannya. Sampai kapan?

Menikah usia remaja, bercerai menjelang dewasa. Orang tua tunggal, harus bekerja meninggalkan anak yang baru hitungan hari. Konsekuensi karena tak punya suami.

Aku sungguh tak tahu duduk masalahnya seperti apa. Namun dari sekian puluh ibu yang bercerita itu tergambar. Bahwa menikah, berkeluarga, berumah tangga bukanlah hal yang bisa dipelajari dalam satu malam wejangan menjelang akad. Atau dalam menit khutbah nikah.

Masalah yang akan datang bukan lagi masalah yang hanya datang dari pribadi, namun juga pasangan, anak, sanak saudara. Yang kesemuanya harus dihadapi dengan cara yang lebih bijaksana, lebih tertata, lebih dewasa.

Teringat nasihat Al-Ustadz Nuzul Hafidzahullaah, bahwa untuk mendapat manfaat berenang kita harus tahu dulu cara berenang yang benar. Hati-hati jangan langsung main cebur, alih-alih mendapat manfaat malah jadi mati tenggelam.

MasyaAllah.. Mendidik diri menjadi pribadi yang mulia tuk melahirkan generasi mulia. Membangun peradaban. Memutus rantai kejahilan.
Bukan dari diri orang lain, bukan hanya mengharapkan dari pasangan. Namun terus menempa diri dan bergantung pada Ilahi.

Wallaahu a'lam.

- Ruang Renung, 8 Rajab 1440 H

Komentar